Selasa, 04 Desember 2007

Harga barang, akses, distribusi

Buat saya yang seumur-umur di Jakarta, hal pertama yang buat saya kaget waktu tinggal di Tarakan adalah harga-harga barang. Saya tahu dari jaman SD harga produk ditentukan oleh banyak komponen salah satu nya biaya distribusi, waktu kecil saya saya ikut ibu saya ke pasar untuk beli barang kelontong untuk dijual kembali di warung, saya tahu biaya becak atau bajaj harus masuk ke harga barang-barang di warung ibu saya. Tapi merasakan efek biaya distribusi yang signifikan ke dompet sendiri ya baru sekarang. Untuk minum harga air mineral satu gallon Rp. 27-28 ribu, beras kualitas sedang yang di Jawa Rp 6-7 ribu di sini bisa Rp 10 ribuan, wortel sebatang Rp 8000, semangka sebiji Rp 40,000 dst.

Kalau mau ke luar Tarakan pakai pesawat ke Balikpapan yang cuma 50 menit biayanya sampai Rp 800 ribuan. Kalau mau murah pakai kapal laut dengan semua konsekuensinya. Bukan maksud saya untuk mengeluh, sebenarnya saya cuma kaget saja waktu makan nasi pecel sama ayam sepotong di warung bisa habis Rp 20 ribuan, dan kalau pakai ayam kampung harganya dobel. Yang murah di Tarakan adalah hasil laut dan tambak, harganya bisa sepertiga atau bahkan seperempat harga di hypermarket di jakarta dengan kondisi yang jauh lebih baik.

Kalau begini saya jadi mikir bagaimana dengan saudara-saudara kita di ujung-ujung Indonesia lainnya , di punggung-punggung pegunungan di Papua, di pulau-pulau yang dilalui kapal sebulan sekali, di pelosok-pelosok yang belum ada jalan aspal. Saya masih beruntung.

Bagaimana ini, harga crude kalau naik sedikit lagi tembus 100 USD/barrel, politisi pusat dan daerah masih banyak yang asik sendiri. Di TV sore ini JK bilang bensin premium akan dibatasi tanpa merugikan rakyat kecil. Bagaimana caranya? cara itu bisa di nomer dua kan yang penting tujuannya. Kedengarannya agak fascistic ya?